Setiap bulan sekali, kantor kami mengadakan pengajian bulanan. Untuk bulan Februari ini, temanya adalah mengenai syukur nikmat dan penyakit hati, yang dijelaskan oleh Bapak ustad Abrar Agung, LC. Yuk mulai:
Dalam kehidupan sehari-hari, pasti kita sering mengucapkan syukur, bahkan dalam musibah pun biasanya terselip rasa syukur, 'syukur saya selamat', 'syukur hanya itu yang diambil', tapi apakah sebenarnya syukur itu? Dalam surat Al-Qurat ke 34 (Saba) ayat 13: "Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang
(besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit
sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih".
Apa beda uang dan emas. Uang kalau dicetak banyak maka nilainya akan turun, sedangkan kenapa emas relatif stabil bahkan naik, karena jumlahnya terbatas. Begitu pula dengan orang yang bersyukur, jumlahnya sedikit. Jadi syukur itu mulia dan tidak gampangan. Banyak dari kita yang bersyukur, tapi tidak benar-benar bersyukur. Nah lho maksudnya apa?
Syukur dapat dipahami dalam tiga dimensi:
- Dimensi ilmu
- Dimensi Rasa
- Dimensi Amal
DIMENSI ILMU
Ilmu yang dituntut adalah memahami ilmu tentang nikmat, bagaimana seseorang menyadari nikmat. Kita bayangkan pagi ini mulai dari bangun tidur. Nafas yang dihirup, paru-paru yang berjalan baik, kita tahu itu nikmat, tapi kita tidak menyadari.
Sebagai ilustrasi, jika kita berterima kasih kepada seseorang. Maka kita sadar akan perbuatan yang dilakukan orang tersebut kepada kita. Kita menyadari si pemberi, jadinya kita berterima kasih kepada orang tersebut. Kadang kita tidak menyadari nikmat yang Allah berikan, nikmat tidak hanya bersifat materi tapi juga immateri seperti nikmat Islam, nikmat hidayat, dapat kawan yang baik, bahkan datang ke kantor tidak telat pun itu nikmat dari Allah yang telah memberikan kita tepat waktu.
DIMENSI RASA
Syukur dapat juga diartikan sebagai rasa senang, bahwa Tuhan dekat dengan kita. Apakah keberadaan keluarga kita, kantor kita membuat kita senang dan merasa dekat dengan Allah? Contoh: Saya senang kantor berAC. Poinnya hanya sampai sana, ini belum bersyukur karena hanya berfokus kepada AC saja. Hambatan di dimendi rasa karena kita punya penyakit hati yang akan menyumbat rasa. Misalnya: Ketika kita membaca Al-Quran, apakah kita dapat terkoneksi kepada Allah? Karena dengan hatilah, kita menggerakkan kemana arah perbuatan kita.
DIMENSI AMAL
Karena dekat dengan Allah, otomatis ketika kita mengucap Alhamdulillah maka bergetar hati kita. Contoh dimensi ini adalah ketika ada seorang raja yang menawarkan akan memberikan kuda yang bagus dengan satu syarat yakni raja diajak berkeliling kerajaan. Kalau kita bersyukur, maka kita akan menjalankan sebaik mungkin, membuat raja nyaman. Sebaliknya, kalau tidak menjalankan perintah raja hanya berfokus kepada pemberian raja (kudanya) saja, setelah mendapat kuda lalu kabur.
Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi dari dua tindakan yang berbeda itu kan? Dengan membuat raja (si pemberi) nyaman maka kemungkinan akan ditambahkan pemberianny. Sedangkan kalau kita bawa kabur kuda raja, maka kita akan dicari-cari oleh raja dan diberi hukuman.
Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi dari dua tindakan yang berbeda itu kan? Dengan membuat raja (si pemberi) nyaman maka kemungkinan akan ditambahkan pemberianny. Sedangkan kalau kita bawa kabur kuda raja, maka kita akan dicari-cari oleh raja dan diberi hukuman.
Jika dikaitkan dengan pekerjaan di kantor, maka kita harus profesional sebagian bagian dari kesyukuran, merasa senang dan merasa Allah dekat dengan kita karena pekerjaan yang kita lalukan dan berbuat amal (eksekusi) dengan sebaik mungkin. Dan Allah pun akan menambah nikmatnya bagi hamba yang bersyukur. Ayo semangat kerja!! Hamasah, Uwi!!
Gambar dari sini |
terima kasih sudah berbagi...
ReplyDeletecocok juga nih diterapkan utk irt ky saya :D