Judul: (Bukan) Salah Waktu
Pengarang: Nastiti Denny
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Cetak: Cetakan I, Desember 2013
Tebal Buku: 244
ISBN: 978-602-7888-94-4
Harga Buku: Rp 46.000,-
Novel karya Nastiti Denny yang berjudul (Bukan) Salah Waktu merupakan pemenang lomba novel “Wanita Dalam Cerita” menceritakan kisah rumah tangga Sekar dan Prabu. Sekar mempunyai trauma terhadap masa lalunya, berusaha menyembunyikan dan melupakannya. Ia berjuang menjalani peran sebagai ibu rumah tangga setelah sebelumnya sukses sebagai wanita karir. Jalan cerita terasa lambat pada awalnya, namun sejak kehadiran Bram, kekasih sahabat Sekar mulai muncul konflik demi konflik dan misteri yang tidak terduga. Mulai dari masa lalu Prabu, masa lalu Sekar dan masa lalu orangtua Sekar. Bagaimanakah semuanya harus berdamai dengan masa lalu mereka masing-masing?
Novel ini mempunyai alur maju mundur namun tetap mudah untuk dipahami. Sudut pandang yang diambil berpindah-pindah kadang dari Sekar atau Prabu. Menurut saya blurbnya kurang menarik karena tidak membuat penasaran calon pembaca, sebaiknya blurbnya memunculkan saat-saat klimaks cerita bukan puisi. Desain bukunya saya suka karena lucu, unik, girly tapi kurang menggambarkan isi novel yang serius, jadi terkesan seperti teenlit untuk remaja.
Kelebihan novel yang dibuat oleh ibu 2 anak ini adalah penulis sukses membuat pembaca mudah mengimajinasikan kata-kata dalam novelnya, misalnya ketika Sekar bersembunyi di kolong meja makan, saat membaca bagian itu saya seperti benar-benar melihat gambaran Sekar yang sedang ketakutan ketika merasa ditolak keberadaannya oleh orang-orang sekitarnya, melihat gambaran Sekar dikejar suara-suara dari masa lalunya. Ceritanya juga tidak mudah ditebak dan membuat penasaran ingin terus membaca lanjutannya.
Kekurangannya adalah penulis kurang teliti misalnya pekerjaan Pak Toni, ayah Prabu disebutkan sebagai direktur perusahaan minyak (hal 13) namun di tengah-tengah cerita disebutkan mempunyai jabatan penting di badan pertanahan (hal 108), lalu nama yayasan yang dibuat Ibu Yani adalah Jalin Kasih (hal 156) namun di halaman lain disebutkan Tali Kasih (hal 210).
Yang membingungkan buat saya adalah tidak ada pertengkaran ketika Sekar tahu rahasia Prabu. Ketika Sekar pusing, suaminya hanya berkata “Kamu kurang sehat?”. Sekar menjawab “Nggak, kecapekan aja nungguin mama waktu sakit” (hal 194). Selanjutnya cerita berjalan seperti biasa. Sampai saya mengecek apakah ada halaman hilang, kenapa terkesan datar. Lalu, ketika Bram bertemu Prabu, Bram tidak merasa bersalah kepada Prabu padahal selama ini dia salah sangka. Juga tentang Prabu berjanji akan melupakan sementara waktu tentang perpisahan orangtua Sekar (hal.78), tapi sampai di akhir cerita tidak pernah dibahas lagi. Jadi, ada beberapa kisah yang kurang dapat diselesaikan dengan baik, seperti sinetron yang belum selesai ceritanya tapi sudah dihentikan. Juga tentang tukang kopi tahu rahasia Ibu Yani (hal 211). Padahal Ibu Yani sendiri sangat menutup rapat rahasianya bahkan dari Sekar.
Novel ini mengajarkan pentingnya komunikasi suami istri, kalau ada masalah sebaiknya diceritakan dan diselesaikan jangan dipendam. Lalu dari kisah masa lalu Sekar saya jadi teringat pelajaran dari seminar parenting bahwa masa kecil akan mewarnai masa dewasa kita dan kesuksesan pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh keharmonisan orang tua. Atau imbasnya seperti Sekar yang trauma terhadap masa kecilnya terbawa hingga dewasa. Jadi, setelah membaca novel ini saya merasa diingatkan seperti apa saya mengasuh Fatih dan bagaimana komunikasi saya dengan suami.
No comments